Merantau di Mata Generasi Saya dan Generasi Orang Tua Saya

Ikhwan Alim
2 min readOct 26, 2022

--

Dalam sepekan ini menonton Ngeri-Ngeri Sedap sampai 2x membuktikan bahwa film tersebut benar adanya dan memang ‘relate’ dengan saya.

Sebagai anak yang masih bau kencur ketika merantau untuk bersekolah putih abu-abu, saya belum mengerti apa-apa soal kota yang saya tinggalkan dan suku bangsa dari orang tua saya.

Jadi ya sama seperti Domu, Gabe, dan Sahat: tidak mengerti adat.

Padahal, kalau dilihat dari jarak yang lebih jauh, konteks ‘merantau’ bagi masing-masing generasi sudah berbeda.

Zamannya ortu saya, merantau itu untuk memperoleh kehidupan ekonomi yang lebih baik. No wonder, karena Indonesia baru belasan tahun merdeka ketika mereka lahir. Which is, menggambarkan sulitnya kehidupan ortu mereka yang notabene merupakan generasi kakek-nenek saya.

Sementara, generasi kami ini merantau untuk ‘menemukan diri sendiri’. Baik dalam hal kebahagiaan, maupun profesi/pekerjaan yang ditekuni. Karena memang situasi ekonomi sudah lebih baik.

Jadi pesan-pesan positifnya dari ortu kami ketika kami merantau dulu, kira-kira adalah, merantaulah nak supaya lebih pintar, tetapi jangan lupa untuk kembali.

Nah soal ingat atau lupa akan pesan positif tersebut, ini yang sedikit berbeda dan perlu dikomunikasikan. Sebab nyatanya kapitalisme sudah merasuk hingga relung-relung tersempit di sekitar kita. Bukan kapitalisme sebatas uang, melainkan juga pengetahuan dan manusia (sebagai resources ya).

Bagi generasi saya yang berasal dari daerah, tentu saja kami mau pulang. Persoalannya adalah bisakah kami pulang? Mengingat kompetisi sekarang sudah sedemikian ketat sehingga apa yang kami temukan di kota-kota besar (contoh: singapore bagi ASEAN, jakarta bagi indonesia, balikpapan bagi kalimantan timur, dst.) tidak mudah untuk kami tinggalkan.

Selain karena di sanalah adanya uang, di sana juga adanya pengetahuan dan SDM yang sesuai dengan kehendak kita.

Kita bisa pulang, uangnya mungkin ada untuk hidup dan melanjutkan keturunan. Tapi adakah profesi/pekerjaan dan industrinya yang sesuai dengan passion atau ikigai kita?

Domu, Gabe, dan Sahat tidak berasal dari Medan. Mereka mendarat saja tidak di Polonia. Rumah Pak Domu relatif dekat dengan Danau Toba. Intinya, mereka berasal dari kampung juga.

Domu yang bekerja di BUMN, Gabe yang berprofesi sebagai komedian, Sahat yang seperti itulah Sahat, tidak serta-merta mudah untuk balik kampung. Mungkin uangnya bisa diusahakan, tetapi pengetahuan dan manusia industrinya yang saat ini belum ada.

--

--